TEGASKAN PERAN MASYARAKAT ADAT: WGII DUKUNG KONSERVASI KEHATI BERKELANJUTAN

 Admin    23-06-2025    00:00 WIB  

Blog Image

JAKARTA — Dalam talkshow memperingati Hari Lingkungan Hidup 2025 bertema “Menyatukan Langkah untuk Keanekaragaman Hayati: Selaras dengan Alam dan Pembangunan Berkelanjutan”, yang diselenggarakan kementrian Lingkungan Hidup, Program Manager Working Group ICCAs Indonesia (WGII), Cindy Julianty, menegaskan pentingnya pengakuan dan penguatan praktik konservasi berbasis pengetahuan tradisional masyarakat adat di Indonesia.


Cindy Julianty menyampaikan bahwa WGII telah melakukan kegiatan pendokumentasian pratik-praktik konservasi oleh masyarakat adat, atau yang disebut oleh WGII sebagai ICCA. Praktik ICCA tersebut termasuk pengelolaan dan pemanfaatan area hutan oleh masyarakat adat berdasarkan fungsi ekologis, spiritual, dan sosial-budaya. Praktik ini mencakup pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan berdasarkan fungsi ekologis, spiritual, dan sosial-budaya yang hidup dalam tradisi masyarakat. Hingga kini, luas wilayah yang terdokumentasi masih terbatas jika dibandingkan dengan potensi yang diperkirakan mencapai 23 juta hektar. Bentuk konservasi yang dijalankan pun beragam, tidak hanya berfokus pada satu spesies, tetapi mencakup pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.


WGII juga mendorong proses saintifikasi pengetahuan tradisional masyarakat adat dalam konservasi keanekaragaman hayati. Hal ini dilakukan dengan mengaitkan praktik-praktik adat dengan pendekatan ilmiah modern. 


“Bagi masyarakat adat beberapa area hutan itu dipamalikan atau dikeramatkan karena jika dilihat dari pendekatan saintifik, tempat itu dijaga dengan maksud dan tujuan menjaga areal tersebut sebagai contoh ternyata tempat tersebut dijaga karena menjadi sumber mata air atau menjadi lokasi situs-situs yang dikeramatkan” ujar Cindy. 


Lebih lanjut, WGII melakukan analisis terhadap signifikansi ekologis wilayah konservasi masyarakat adat. Hasilnya menunjukkan bahwa berbagai jenis burung, termasuk spesies endemik Indonesia dan yang berstatus konservasi menurut IUCN, ditemukan dalam area ICCAs. Pengetahuan tradisional yang mendasari pengelolaan wilayah ini bersifat beragam, saling terkait, dan mencerminkan keterhubungan erat antara manusia, alam, dan budaya.



Cindy Julianty, memaparkan data status terkini ICCA edisi Mei 2025

Namun, Cindy juga menyoroti tantangan serius dalam mendokumentasikan praktik-praktik ini. Ia menyatakan bahwa keberlanjutan pengetahuan tradisional dan praktik-praktik tersebut kini kian terancam, antara lain karena minimnya regulasi yang secara tegas mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat. Di sisi lain, regulasi yang ada cenderung sulit dipahami oleh masyarakat, sementara sektor-sektor terkait belum sepenuhnya mampu menjembatani pemahaman tersebut di lapangan. Kebijakan yang bersifat hierarkis—dari tingkat masyarakat hingga pusat—dengan proses yang panjang dan berlapis juga menjadi tantangan tersendiri dalam memastikan perlindungan wilayah kelola masyarakat.


Meski demikian, Cindy melihat tantangan ini sebagai peluang.  “Tantangan ini justru menjadi peluang bagi kita untuk mendorong Indonesia tampil sebagai champion dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD), sekaligus mempercepat pengesahan Undang-Undang yang mengakui masyarakat adat,” ujar Cindy.


Adapun WGII memiliki misi untuk mempromosikan praktik-praktik konservasi oleh masyarakat adat yang merupakan pengetahuan turun temurun atau berakar dari leluhur, pengetahuan ini sudah ada jauh sebelum dibentuknya kebijakan terkait konservasi keanekaragaman hayati di dunia saat ini. WGII juga mendorong agar praktik-praktik ini tidak hanya diakui, tetapi juga dihormati sebagai bagian penting dari strategi nasional konservasi.


Talkshow yang diselenggarakan di Kenari Room, Assembly Hall Jakarta International Convention Center pada Senin, 23 Juni 2025 ini juga menjadi wadah bagi berbagai lembaga non-pemerintah untuk berbagi kontribusi dalam pelestarian biodiversitas. Sebagai negara mega-biodiversitas, Indonesia tidak hanya kaya akan flora dan fauna, tetapi juga kebudayaan yang hidup berdampingan dengan alam.

(***DevinDewantara/AN)