Jumat, 15 Maret 2024, bertempat di Hotel Novotel-Bogor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengundang Working Group ICCAs Indonesia dan Yayasan Konservasi Indonesia sebagai perwakilan masyarakat sipil, pihak swasta, dan Kementerian / Lembaga (K/L) untuk mendapatkan masukkan terhadap rumusan Kerangka Kelembagaan Indonesia Biodiversity Strategic and Action Plan (IBSAP).
“Saat ini Bappenas mengupayakan adanya pengukuran Indeks Pengelolaan Keanekaragaman Hayati (IPK) dalam RPJPN 2025 – 2024 dan RPJMN 2025 – 2029, dengan atau tanpa adanya IBSAP, pengelolaan keanekaragaman hayati tetap diarahkan untuk terus berjalan, baik di terestrial maupun di laut” ucap Priyanto Rohmatullah, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas dalam sambutan pembukaan.
Krisis iklim dan meningkatnya laju kehilangan keanekaragaman hayati mengharuskan para pihak untuk memikirkan dengan serius upaya pemulihan. Peran negara yang terpusat sudah tidak lagi relevan dengan tantangan dan kondisi hari ini, apalagi untuk mengejar capaian target ambisius dari Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF).
“Perlu ada orkestrasi dari seluruh pihak dan menentukan siapa yang akan me-lead,” ucap Priyanto.
Menurut Desy Satya Dewi dari Direktorat Konservasi Keanekaragaman – KLHK, jika nantinya akan ada kelembagaan IBSAP maka harus jelas, “sebab Menteri LHK telah menerbitkan Kepmen LHK no 140 Tahun 2024 tentang Kelompok Kerja Balai Kliring Keanekaragaman Hayati, Keamanan Hayati, dan Akses & Pembagian Keuntungan Atas Manfaat Sumberdaya Genetik. Pokja tersebut berperan untuk melakukan proses monitoring IBSAP termasuk protokol Nagoya, dan Cartagena, serta memfasilitasi pertukaran data dan informasi antar K/L, kerjasama ilmiah, dan pelibatan atau partisipasi publik.”
Terkait perumusan kelembagaan IBSAP, Ia menyoroti 3 hal, “pertama, kelembagaan yang dibayangkan fungsinya akan seperti apa? Apakah yang tercantum dalam SK MenLHK 140/2024 sudah cukup atau perlu ditambah kelompok kerja lainnya? Kedua, apakah fungsinya akan sebagai pelaksana, koordinasi, atau monitoring dan evaluasi, atau bahkan ketiganya? Ketiga, siapa yang akan menjadi Focal Point untuk IBSAP ini?”
Joeni Setijo Rahajoe dari BRIN menanggapi bahwa pada IBSAP 2015-2020 telah ada rancangan awal Balai Kliring Kehati yang di dalamnya terdapat simpul-simpul untuk mengaomodir para pihak. Semua simpul tersebut akan terkoneksi ke KLHK sebagai pusat dari Balai kliring sekaligus National Focal Point (NFP) yang akan melaporkan capaian IBSAP di tingkat global.
Gambar: Pemikiran awal Balai Kliring Keanekaragaman Hayati
Working Group ICCAs Indonesia (WGII) dan Yayasan Konservasi Indonesia (YKI), menyampaikan pentingnya mengikutsertakan masyarakat dan LSM di dalam Kelembagaan IBSAP. Cindy Julianty selaku Program Manager WGII mengatakan, “KM-GBF menurut kami adalah pendekatan yang transformatif, berbeda dengan Aichi Target. Jadi, ada (prinsip) whole government & whole society yang menekankan pentingnya pelibatan non-state actor (masyarakat, NGO, dan private sector) termasuk aspek inklusif yang harus menjadi pertimbangan dalam implementasi IBSAP.”
Ia menambahkan bahwa masyarakat adat dan komunitas lokal sudah secara sukarela berkontribusi terhadap perlindungan keanekaragaman hayati sejak lama, melalui praktik tata kelola wilayah dan pengelolaan kehati berdasarkan pengetahuan tradisional mereka. “jadi sebenarnya wilayah yang dikelola secara tradisional bisa terhitung. Instrumen tentang kearifan lokal juga sudah banyak, dan implementasi (kebijakan) ini bisa mencapai atau mendukung target KM-GBF.”