Jaringan Pemangku Hak Areal Konservasi Kelola Masyarakat (JPH AKKM) Deklarasikan Diri di Momentum Konferensi Tenurial 2023

 Admin    17-10-2023    00:00 WIB  

Blog Image

Selasa, 17 Oktober 2023, masyarakat adat dan komunitas lokal yang tergabung dalam Jaringan Pemangku Hak Areal Konservasi Kelola Masyarakat (JPH AKKM) mendeklarasikan diri pada side event Konferensi Tenurial 2023. Bertempat di gedung Serbaguna Senayan, Naomi Marasian, Dolvina Damus, dan Rukmini Toheke yang mewakili JPH AKKM menegaskan bahwa pemerintah harus mengakui praktik konservasi yang dilakukan oleh masyarakat, sebab “masyarakat adalah aktor utama konservasi” tegas ketiga perempuan adat tersebut.

 

Side event Konferensi Tenurial 2023: Talkshow Menuju Terwujudnya Konservasi yang Berbasis Hak, Berkeadilan dan Berbudaya Lokal (17/10/23) 

 

JPH AKKM adalah para pemangku hak atau rights-holders dari kawasan-kawasan yang dilestarikan melalui nilai-nilai kearifan lokal. Para pemangku hak memiliki kesamaan gagasan untuk membentuk sebuah wadah yang mampu merespon persoalan pendekatan dan penyelenggaraan konservasi yang tidak mengakar pada kebudayaan dan seringkali melakukan pengabaian hak-hak masyarakat.

 

Kasmita Widodo, Koordinator WGII menyampaikan, “pemerintah telah menetapkan seluas 27,4 juta hektar kawasan hutan sebagai kawasan konservasi, tapi itu bukanlah ruang kosong.  Sebagian wilayah konservasi tersebut merupakan ruang hidup bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang memiliki sejarah, kebudayaan serta hubungan manusia dan alam yang tidak dapat dipisahkan.” Ia menyatakan, “pemerintah masih meragukan bahwa masyarkat adat mampu menjaga ekosistem dan keanakeragaman hayati di Indonesia, sehingga untuk menjawab keraguan itu diperlukan pendokumentasian praktik-praktik konservasi yang dilakukan masyarakat.”

 

Rukmini Toheke, masyarakat adat Ngata Toro dari Sulawesi Tengah menjelaskan bahwa leluhur mereka telah mewariskan tata kelola yang arif dan adil bagi seluruh makhluk, “sejak dulu leluhur berpesan bahwa wana ngkiki tidak boleh dikelola oleh siapapun, karena kami tahu disana adalah sumber mata air dan tempat hidup berbagai hewan, lalu ada wana yaitu hutan rimba yang hanya boleh diambil rotannya, madu, dan rompi (parfum alami dari material non-kayu).”

 

Dolvina Damus, masyarakat Adat Dayak Lundayeh Mentarang di Kalimantan Utara menambahkan “apakah kalian tidak percaya kepada kami? hutan merupakan rumah bagi masyarakat adat dayak. Kami tidak mungkin merusak rumah (red-wilayah) kami sendiri. Jika tidak ada kami, tidak mungkin ada Taman Nasional Kayan Mentrang yang luasnya 1,3 juta hektar itu.”

 

Cindy Julianty, Manager program WGII sampaikan “tata kelola sumberdaya alam masyarakat adat dan komunitas lokal yang berbasis budaya, terbukti jauh lebih efektif daripada konservasi yang diintrodusir oleh negara. Diestimasikan 54% dari keseluruhan luas wilayah Indonesia merupakan wilayah adat, dimana 70% tutupan lahan di wilayah adat merupakan hutan dengan kondisi baik,” ia menambahkan “hasil analisis bersama antara BRWA, WGII, dan FWI menunjukkan sebesar 72% wilayah adat merupakan ekosistem penting yang sampai saat ini dijaga dan dilindungi oleh masyarakat adat”

 

Selama satu dekade terakhir, Working Group ICCAs Indonesia bersama Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal telah mengidentifikasi potensi AKKM dengan luasan lebih dari 4,2 juta hektar, dengan angka registrasi mencapai 492,222 hektar kedalam platform iccas.or.id. Capaian ini sesungguhnya masih sangat kecil dibanding dengan potensi AKKM yang ada, mengingat angka registrasi wilayah adat di BRWA telah mencapai 26,9 juta hektar.

 

#AN

 

Heri Yogaswara dari Badan Riset dan Inovasi Nasional yang hadir sebagai penanggap menegaskan “kajian mengengai praktik AKKM harus dimasukkan ke dalam dokumen usulan hutan adat. Ini akan memperkuat pengakuan masyarakat adat dan hutan adatnya.”

 

Dalam deklarasinya, JPH AKKM menyampaikan pokok – pokok deklarasi mereka:  

  1. Masyarakat adat dan komunitas lokal adalah subyek utama pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Sehingga pemerintah berkewajiban untuk melibatkan masyarakat adat dan komunitas lokal secara penuh dan efektif dalam pembentukan dan pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia.
  2. Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM) yang dijaga dan dikelola oleh masyarakat adat dan komunitas lokal merupakan bagian penting dalam tata kelola kawasan konservasi daratan dan perairan yang inklusif dan berkeadilan.
  3. AKKM merupakan  praktik konservasi berbasis budaya dan pengetahuan tradisional yang telah terbukti dan oleh karenanya pemerintah wajib memenuhi perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal.
  4. Penyusunan kebijakan konservasi sumber daya alam yang sedang dalam proses maupun di masa depan perlu mengubah model dan paradigma konservasi yang terpusat pada negara menjadi konservasi yang berbasis HAM, yakni menghormati dan menghargai hak-hak masyarakat adat dan lokal dalam menjaga dan melindungi hutan, pesisir, laut dan sumber daya alam lainnya.
  5. Mengajak  para Pemangku Hak AKKM yang tersebar di seluruh Indonesia untuk bergabung dan memperkuat JPH-AKKM ini, serta terus menjaga areal konservasi dan ruang hidup untuk generasi saat ini dan yang akan datang