Land & Carbon Lab Summit 2023: BRWA-WGII Urgensi Pengakuan Praktik Konservasi Berbasis Masyarakat Adat dan Lokal (ICCAs) Untuk Mencapai Target Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework

 Admin    29-06-2023    00:00 WIB  

Blog Image

29 Juni 2023, Pada hari terakhir, BRWA-WGII berkesempatan untuk berbicara pada panel dengan judul “Making the Case for Indigenous and Community Land Rights in Climate and Conservation Agendas. Panel ini membahas lebih dalam mengenai beberapa agenda global mengenai iklim dan konservasi yang saat ini makin menguat dan menjadi prioritas nasional dan dunia . Dalam konteks ini, strategi iklim dan pendekatan konservasi, pengelolaan lahan oleh masyarakat adat dan komunitas lokal kurang terwakili, pendekatan yang selama ini dilakukan seringkali mengalienasi dan meminggirkan keberadaan masyarakat adat terutama kawasan konservasi. Sesi ini menyoroti penelitian terbaru yang mengeksplorasi kebijakan internasional dan strategi iklim berbasis lahan, dan bagaimana pengaruhnya terhadap kepemilikan lahan masyarakat adat dan masyarakat. Sesi ini dihadiri oleh perwakilan organiasi masyarakat sipil, masyarakat adat dan donor diantaranya Rights and Resources Iniatives , RFN UK, World Resources Institute,  dan Proceso de Comunidades Negras PCN.

 

Cindy Julianty (program manager WGII) memulai presentasinya dengan pertanyaan pemantik mengenai “apa itu konservasi?, dan siapa yang memiliki kontrol atas konservasi?”. “Selama ini telah lahir banyak kebijakan yang telah memperkuat prinsip Domein Verklaring yang mempertegas dan melegilitimasi kekuasaan negara dalam melakukan kontrol atas sumberdaya alam. UU Konservasi dan UU Kehutanan adalah 2 dari sebagian kebijakan tersebut. Kebijakan ini juga yang berhasil melahirkan banyak penetapan kawasan konservasi baik dalam bentuk Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan lain sebagainya. Hingga tahun 2021 terdapat 556 unit kawasan konservasi dengan luasan 27,14 juta hektar. Sayangnya penetapan kawasan konservasi ini diwarnai mitos bahwa wilayah wilayah tersebut adalah tanah kosong, tak bertuan dan tidak memiliki validitas atas kepemilikan hak atas tanah, dan pada gilirannya, menimbulkan konflik antar komunitas dan pengelola kawasan, bahkan konflik antar manusia dengan satwa”. Tegas cindy

 

Berdasarkan analisis fungsi dan status kawasa hutan, WGII menemukan adanya 4,5 juta hektar wilayah adat yang tumpang tindih dengan kawasan konservasi, dan hanya 922.769 hektar yang telah memperoleh pengakuan. Konflik berkepanjangan dalam urusan konservasi ini juga disebabkan proses penetapan kawasan konservasi yang tidak memperhatikan aspek persetujuan (consent) dan juga perbedaan pengetahuan dan konsep keruangan konservasi antara pemerintah dengan masyarakat adat. Banyak wilayah yang dikelola untuk sumber penghidupan dan ritual adat dikonversi menjadi zona inti, dan banyak juga wilayah yang disakralkan dikonversi menjadi wilayah yang dapat dimanfaatkan.

 

Padahal, masyarakat adat dan lokal diseluruh nusantara sudah memulai praktik merawat lingkungan dan sumberdaya alam, jauh sebelum adanya kawasan konservasi. WGII bersama masyarakat dan organisasi masyarakat sipil lainnya telah mendokumentasikan berbagai praktik konservasi ala masyarakat adat ini, dan saat ini telah mencapai 467 ribu hektar dengan indikasi potensi 4,2 juta hektar. Angka ini masih bisa  berkembang, mengingat angka  registrasi wilayah adat telah mencapai 25,1 juta hektar.

 

 

“Kita perlu secara jelas memahami apa itu konservasi? Seperti yang dilakukan di Masyarakat Adat Kasepuhan di Provinsi Banten. Mereka memiliki areal konservasi yang disebut dengan Lewueung Titipan, Tutupan dan Garapan, dan disana mereka mempraktikan sistem pertanian tradisional dimana mereka tidak boleh menggunakan bahan kimia dan hanya boleh memanen dan menanam padi setahun sekali. Jika di perhatikan dengan seksama, praktik ini pada akhirnya dapat mempertahankan keberadaan padi lokal disana yang disebut dengan pare gede, dan dari praktik ini mereka juga dapat melindungi extended habitat dari berbagai biodiversitas seperti bururng, reptile dan serangga di areal tersebut. Apakah ini bukan konservasi? Bagi masyarakat spesies mungkin bukan tujuan. Namun cara mereka memelihara alam, dan menjaga harmoni dengan alam dengan berbagai alasan budaya dan lingkungan, pada gilirannya dapat berkontribusi pada target konservasi, dan hal ini perlu diakui” jelas cindy memberikan contoh.

 

Sudah saatnya peran dan kontribusi masyarakat adat dan lokal atas konservasi diakui dan dihormati, berbagai laporan global telah membuktikan kontribusi masyarakat adat dan lokal atas konservasi. Sehingga perlu juga kita mengawal bersama implementasi dari KM-GBF terutama target 3 (30 by 30) jangan sampai target ini diinterpretasi tanpa melihat aspek pada target lain seperti FPIC, partisipasi, inklusifitas, dan keberlanjutan “jangan sampai target ini menjadi legitimasi untuk memperluas kawasan konservasi di wilayah adat tanpa adanya mekanisme FPIC, pembagian manfaat yang adil, dan partisipasi yang jelas. Kita harus mulai mengakui tools lain untuk mencapai target konservasi. ICCAs dan OECMs memungkinkan kontribusi masyarakat adat dan lokal atas konservasi dihitung secara jelas dan lebih bermakna” terangnya.