Land & Carbon Lab Summit 2023: BRWA Tegaskan Pentingnya Sistem Informasi Wilayah Adat Dalam Meningkatkan Visibilitas Wilayah Adat dan Mengakselerasi Pengakuan Masyarakat Adat Dan Wilayah Adat di Indonesia

 Admin    27-06-2023    00:00 WIB  

Blog Image

27 juni 2023, BRWA menyampaikan presentasi dan pengalaman pada panel Shifting Power: Rights-Based Approaches to Geospatial Data and Tools”.  Panel  ini membahas mengenai warisan kolonialisme yang dimasukkan ke dalam struktur sektor geospasial, dengan pembuat keputusan di Global North masih mendominasi teknologi dan percakapan seputar pemetaan tanah dan Natural Assets di dunia. Terlalu sering, hal ini mengakibatkan kerugian langsung bagi Masyarakat Adat dan komunitas lokal lainnya (IP&LC), yang mereka sendiri memiliki praktik pemetaan adat yang sudah berlangsung lama dan cara membuat konsep data di luar apa yang saat ini dicakup oleh sebagian besar alat geospasial. sesi ini menghadirkan pembicara dari perwakilan organisasi masyarakat sipil seperti dari berbagai negara dan perwakilan masyarakat adat dari Suriname.

 

 “Sejak masa kolonial, pemerintah telah memperkenalkan sebuah prinsip yang disebut dengan Domein Verklaring, dimana tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya, di klaim sebagai tanah negara, hal ini sudah barang tentu menjadi momok bagi masyarakat adat, dan dalam sejarahnya berhasil merampas tanah-tanah adat, dan dalam hal ini peta menjadi alat legitimasi atas prinsip ini, dan berhasil memperkuat kontrol negara atas sumberdaya alam. Oleh karena itu dalam konteks kerja-kerja masyarakat sipil seperti AMAN, JKPP dan BRWA, dan terpenting masyarakat adat, peta juga saat ini juga menjadi alat utama dalam mengembalikan kekuatan masyarakat adat dalam memastikan kedaulatan atas tanah dan ruang” ungkap Cindy dalam presentasinya

 

Sebagai alat kerja, peta juga dapat menunjukan validitas dan visibilitas dari tata kelola masyarakat adat dalam merawat wilayah dan sumberdaya alam. Kerja-kerja untuk mengumpulkan data dalam bentuk spasial dan sosial sudah dilakukan sejak tahun 90’an. Namun sampai hingga tahun 2009, belum ada lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengkompilasi dan mengkonsolidasikan hasil kerja masyarakat adat untuk memetakan wilayah mereka. Akibatnya data wilayah adat tercecer, dan sulit untuk dinavigasi.

 

 

Cindy menambahkan “Tahun 2010, dengan inisiatif AMAN, JKPP, KpsHK, Sawit Watch dan Forest Watch, BRWA dibentuk dengan melihat kondisi dan gap yang ada. BRWA mengambil peran untuk dapat mengkosolidasikan data-data wilayah adat dan mem-verifikasinya, guna dapat digunakan untuk memproses pengakuan subjek maupun objek masyarakat adat dan wilayah adat. Disamping itu, BRWA juga mengambil peran dalam pengurusan sistem registrasi wilayah adat yang seharusnya dilekatkan pada fungsi lembaga negara, namun belum dapat dilakukan karena persoalan kebijakan dan political will”

 

Dari data yang diregistrasikan tahun 2012 berjumlah 2,4 juta hektar pada platform http://brwa/or/id, kini publik dapat melihat ada 25,1 juta hektar wilayah adat yang diregistrasi pada tahun 2023. Dengan demikian system informasi wilayah adat ini sangat bermanfaat untuk memaksimalkan visilibitas terhadap informasi wilayah adat di Indonesia. Meski demikian, pekerjaan rumah (PR) untuk menyelesaikan urusan pengakuan wilayah adat dan hak-hak masyarakat adat masih sangat panjang, dari 25,1 juta wilayah adat yang diregistrasi di BRWA, hanya 3,5 juta hektar wilayah adat yang sudah mendapatkan pengakuan dari produk hukum daerah. Sedangkan untuk pengakuan hutan adat saat ini hanya mencapai sekitar 153.000 hektar dari estimasi potensi mencapai 18juta hektar.

 

“Harapan kami di BRWA, sistem informasi wilayah adat ini dapat menjadi rujukan, dan bahkan diadopsi oleh pengambil kebijakan baik di daerah maupun di pusat. Sebagaimana yang kami upayakan saat ini, dan sudah mulai berjalan beberapa prototype seperti di kabupaten malinau, provinsi kalimantan barat, provinsi sulawesi selatan, kabupaten jayapura, dan lain sebagainya” tambahnya.