Hari Keanekaragaman Hayati Internasional: Membangun Kembali Keanekaragaman Hayati Perlu Dilakukan Melalui Pendekatan Konservasi yang Inklusif dan Berbasis HAM

 Admin    Senin, 22 Mei 2023  
Blog Image

Jakarta, 22/05/2013, Bertepatan dengan Hari Keanekaragaman Hayati Internasional, Working Group ICCAs Indonesia (WGII) bersama anggota mengajak publik dan para pengambil kebijakan untuk mengambil aksi konkret dalam mengatasi krisis keanekaragaman hayati yang dapat mengancam kehidupan di bumi, saat ini dan di masa yang akan datang. Hari Keanekaragaman Hayati saat ini yang mengusung tema “From Agreement to Action: Build Back Biodiversity” mengajak semua komponen masyarakat dan pemerintah untuk dapat mengimplementasikan Kerangka Kenakeragaman Hayati Kunming Montreal Global Biodiversity Frame Work (KM-GBF) yang disepakati pada COP-15 dari Convention on Biological Diversity (CBD) yang diselenggarakan Desember 2022.

 

WGII berpendapat bahwa komitmen yang dituangkan ke dalam KM-GBF membawa perubahan positif dengan memandatkan negara anggota (termasuk Indonesia) untuk menetapkan target ambisius untuk mencegah dan memulihkan kehilangan keanekaragaman hayati dengan cara yang transformatif “A Whole Society Approach to Conservation”, yakni dengan mengikutsertakan dan menjadikan masyarakat sebagai aktor konservasi”, dan inklusif yakni dengan memperhatikan prinsip hak-asasi manusia, kesetaraan, dan partisipasi baik dari kelompok perempuan, pemuda, serta masyarakat adat dan lokal. Namun komitmen tersebut tentu tidak cukup hanya menjadi janji dan perencanaan, tetapi perlu dituangkan kedalam implementasi kebijakan yang mendukung.

 

Kasmita Widodo, Koordinator WGII menyampaikan bahwa “Pemerintah perlu mengambil tindakan konkret tegas untuk mengkoreksi kekurangan yang selama ini ada dalam penyelenggaraan konservasi sebagaimana yang disepakati dalam KM-GBF. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati perlu memperhatikan hak- hak masyarakat adat, mengakui praktik konservasi yang dilakukan oleh masyarakat adat dan lokal, serta melibatkan mereka dalam mengambil keputusan terkait dengan keanekaragaman hayati. Konservasi tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, sebab pada faktanya konservasi adalah budaya dan sumber kehidupan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal"

 

“Kebijakan Konservasi melalui Undang Undang No. 5 Tahun 1990 juga sudah tidak mampu menjawab kebutuhan dan perubahan paradigma konsevasi yang didorong secara global maupun dinamika empirik dari krisis keanekaragaman hayati, iklim, bahkan pandemi. Penyelenggaraan konservasi saat ini juga terbukti tidak berjalan efektif. Konflik agraria mewarnai hampir seluruh realitas empiris penetapan kawasan konservasi di Indonesia, baik berupa konflik antara masyarakat dengan pengelola kawasan, maupun konflik antara manusia dan satwa. Hal ini disebabkan oleh absennya beberapa prinsip penting dalam konservasi seperti inklusifitas, kolaborasi, PADIATAPA, dan kearifan lokal” Ungkap Ode Rakhman, Deputi Eksternal Walhi.

 

Berdasarkan data HuMa tahun 2018, terdapat 86 konflik kehutanan, 27 diantaranya berada di Taman Nasional, dan 13 kasus berakhir dengan kekerasan. Komnas HAM mencatat adanya 40 kasus masyarakat dengan kawasan hutan dan sebagian adalah Kawasan Konservasi. Berdasarkan data WGII, dari lebih 30 juta hektar wilayah yang ditetapkan pemerintah sebagai Kawasan Konservasi, terdapat sekitar 5.756 desa dengan luasan lebih dari 20 juta hektar, dan 4,1 juta hektar diantaranya merupakan wilayah adat, meskipun hanya ada 922,8 ribu hektar yang menerima pengakuan melalui produk hukum daerah.

 

“Pemerintah seharusnya belajar dari masyarakat adat dan komunitas lokal (MAKL) bagaimana memastikan keberlanjutan keanekaragaman hayati. WGII mencatatat ada lebih dari 467.700 hektar wilayah yang dilindungi oleh MAKL yang dilakukan melalui praktik kearifan lokal, dengan potensi wilayah mencapai 4,2 juta hektar. Praktik yang disebut juga sebagai Indigenous and Community Conserved Areas (ICCAs) ini tersebar di berbagai tipe landscape dan ekosistem, baik di wilayah daratan, maupun pesisir dan laut, seperti tana’ ulen, leweung titipan, lubuk larangan, awig-awig, sasi, dan lain-lain. Dan atas hal tersebut, kontribusi masyarakat adat dan komunitas lokal untuk konservasi keanekaragaman hayati juga seharusnya diakui dan dihitung” tambah Kasmita Widodo.

 

KM-GBF juga menorehkan jejak positif dalam gerakan masyarakat adat dengan memasukan unsur masyarakat adat dan lokal kedalam 7 dari 23 target yang ditetapkan, yang berkaitan dengan pemanfataan berkelanjutan, perlindungan pengetahuan tradisional, partisipasi, pembagian manfaat yang adil, dan FPIC (Free, Prior, Informed Consent).

 

Lebih lanjut Cindy Julianty, Program Manager WGII menyampaikan “Kita punya target pada tahun 2030 untuk dapat melindungi 30% daratan dan lautan (30 by 30), dan kita sudah harusnya belajar dan mengakui tools lain yang bisa digunakan untuk mencapai target ini. Protected Areas (Penetapan Kawasan Konservasi) bukan satu-satunya jalan untuk mencapai target konservasi. Kita harus mulai mengakui dan menyadari kontribusi dari aktor lain seperti masyarakat adat dan lokal. Tidak boleh ada lagi wilayah adat yang ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi! Masyarakat Adat dan Lokal adalah aktor dan benteng terakhir dari konservasi yang sesungguhnya”

 

Dengan demikian WGII mendorong agar pemerintah dapat merespon dan mempercepat implementasi KM-GBF degan pembaruan kebijakan yang sesuai diantaranya seperti RUU KSDAHE dan National Biodiversity Strategy and Action Plan (NBSAP) menjadi 2 (dua) peluang yang perlu dikawal bersama- sama untuk membangun kembali kenekaragaman hayati dan mewujudkan masa depan Indonesia yang lebih adil, lestari dan inklusif.


Informasi Lebih Lanjut

 

Liputan RDPU RUU KSDAHE dapat diakses pada : Youtube Channel Komisi IV DPR RI

Naskah Serial Policy Brief dapat diakses pada webiste : http://iccas.or.id

Narahubung :

Lasti Fardila (0813-8860-1039)