Melibatkan dan Memberdayakan Pemuda sebagai Pemimpin untuk Hutan dan Konservasi melalui Kegiatan IPLC Youth Camp

 Admin    Rabu, 31 Agustus 2022  
Blog Image

Bali – Sebanyak lima belas pemuda yang berasal dari Bali, Banten, Bengkulu, NTT, Papua, dan Sulawesi Tengah mengikuti kegiatan IPLC (Indigenous Peoples’ and Local Community) Youth Camp. Kegiatan ini diselenggarakan di Wisma Nangun Kerti dan Danau Tamblingan, di Bali selama 3 hari dari tanggal 29-31 Agustus 2022.

        Peserta IPLC (Indigenous Peoples’ and Local Community) Youth Camp sedang mempresentasikan aspek sosial budaya Masyarakat Adat Dalem Tamblingan 


Pentingnya regenerasi kepemimpinan dan pelibatan pemuda, menggerakkan NTFP-EP Asia bersama dengan NTFP-EP Indonesia dan Working Group ICCAs Indonesia (WGII) berkolaborasi dengan Rimbawan Muda Indonesia dan Yayasan Wisnu menyelenggarakan kegiatan Youth Camp ini dengan tema “Melibatkan dan memberdayakan Pemuda Sebagai Pemimpin untuk Hutan dan Konservasi”

 

Katherine Mana-Galido selaku MEL Coordinator dari NTFP – EP Asia menyampaikan bahwa masyarakat adat dan lokal memiliki Indigenous Knowledge System and Practices (IKSPs) yang bermanfaat dalam pengelolaan hutan dan wilayah serta pemanfaatan hasil hutan lestari. Pengetahuan dan praktik kearifan lokal ini diturunkan dari generasi ke generasi. Pemuda sebagai aktor kunci dari generasi penerus, perlu dibekali dengan berbagai pengetahuan, diperkuat dengan peningkatan kepemimpinan dan dikontekstualisasikan peranannya dengan permasalahan hari ini.

 

Indigenous Peoples’ and Local Community Youth Camp ini kemudian digagas sebagai wadah untuk berbagi pembelajaran, meningkatkan kesadaran pemuda dan meningkatan pemahaman pemuda dalam pengelolaan wilayah adat terutama hutan. Harapannya, akan muncul lebih banyak pemuda yang memiliki kapasitas kepemimpinan yang inklusif dalam pengelolaan sumber daya alam lokal. Sehingga mereka dapat menjadi penggerak bersama dengan anggota masyarakat lainnya untuk mengkatalisasi perubahan sosial dan keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam yang lestari dan berkeadilan oleh masyarakat.

 

Pada sesi awal, pemuda diajak untuk mengenali kekuatan dan potensi diri serta capaian yang telah dihasilkan sehingga diharapkan dapat menginspirasi satu sama lainnya. Selanjutnya, melalui ruang diskusi tematik, peserta mengembangkan gagasan dan perspektif pemikiran sebagai brainstorming tentang isu hutan dan lingkungan hari ini. Peserta kemudian mengidentifikasi tantangan yang di hadapi di wilayah masing-masing. Tidak hanya konteks hari ini, Peserta juga dituntun untuk menganalisis perubahan yang terjadi di wilayahnya selama kurun waktu 30 tahun sehingga peserta mengenali permasalahan dan ancaman keberlanjutan.

 

Beberapa peserta memaparkan bahwa ada permasalahan pembatasan pengelolaan dan akses terhadap hutan dan sumberdaya alam oleh negara. Peserta dari Papua, Susan mengatakan ”ada beberapa kampung di Gandur, ada pohon kayu putih namun masyarakat hanya boleh mengelola dengan memotong rantingnya saja. Sejauh ini masih dalam proses untuk pengakuan tanah mereka.”

 

Dio, pemuda dari masyarakat Osing mengatakan ”Wilayah adat di Osing, sebagian wilayahnya masuk ke dalam Taman Nasional, kami setiap tahun melakukan ritual di sana. Ada ketakutan (dari masyarakat adat Osing) ketika mulai banyak pembangunan, mulai agak dipersulit ditambah dengan adanya (situasi pandemi) Korona.” Dio menambahkan bahkan untuk masuk melangsungkan ritual di wilayah adatnya yang masuk ke Taman Nasional mereka perlu membawa Simaksi (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi). Permasalahan dengan Taman Nasional juga dialami oleh komunitas di Sulawesi Tengah, “salah satu kebun warga, Bulu Bente, tanaman perkebunan sangat bagus pertumbuhannya, tiba-tiba ada yang masuk dan mengatakan itu Taman Nasional. Permasalahan konflik belum selesai dan masyarakat sudah tidak bisa diakses” kata Herson, pemuda dari Lariang, Sulawesi Tengah.

 

Cindy Julianty, Program Manager WGII dalam presentasinya menyampaikan bahwa pengelolaan hutan dan konservasi yang dilakukan Negara seharusnya memiliki muatan Konservasi inklusif, Pendekatan berbasis hak asasi manusia, dan berbasis pada kearifan pengetahuan lokal. WGII yang punya focus pada perlindungan dan pengakuan ICCAs (Indigenous Peoples’ and Local Community Conserved Area) atau AKKM (Area Konservasi Kelola Masyarakat Adat dan Lokal) telah mengidentifikasi dan mendokumentasikan beragam konservasi berdasarkan pengetahuan masyarakat adat.

 

Melalui kegiatan youth camp ini pemuda diajak untuk mengidentifikasi dan mengenali lebih dalam praktik-praktik kearifan lokal di wilayahnya masing-masing. Di mana para leluhur mereka telah membangun konsep konservasi yang adaptif dan spesifik terhadap geografis dan adat budaya. Konservasi yang dilakukan masyarakat ini nyata memberikan perlindungan tidak hanya terhadap kekayaan hayati dan pelestarian ekosistem tetapi memastikan hak-hak masyarakat terpenuhi.

 

Pada akhir kegiatan Perkemahan Pemuda, peserta secara langsung belajar dari masyarakat Adat Dalem Tamblingan, di Buleleng - Bali tentang cara mereka mengkonservasi hutan dan danau. Dari pembelajaran ini, peserta berdiskusi dan membangun rencana tindak lanjut untuk diimplementasikan di wilayah masing-masing. Baik penyelenggara maupun peserta sama-sama berharap kegiatan Youth Camp ini dapat berkelanjutan dan terjalin menjadi network pemuda konservasi.

 

Admin: AN