WGII Gelar Diskusi Bersama Anggota Bahas Legislasi RUU KSDAHE 2022

 Admin    24-08-2022    00:00 WIB  

Blog Image

Pada tahun 2016, RUU tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya (RUU KKHE) masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) untuk merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya, yang sudah berusia lebih dari 30 tahun. Dalam proses legislasi RUU KKHE, WGII ​​(terdiri dari 10 lembaga: BRWA, AMAN, HHBK, WALHI, Kiara, JKPP, HuMa, Pusaka, WWF Indonesia dan Sawit Watch) pernah merespon dengan melakukan audiensi dengan DPR dan membuat catatan kritis pada RUU versi terdahulu ini. Catatan kritis ini digunakan sebagai alat untuk mengintervensi substansi RUU untuk memastikan bahwa Indigenous and Community Conserved Areas (ICCA) atau yang dalam RUU ini dikenal sebagai Kawasan Konservasi yang Dikelola Masyarakat (AKKM) dimasukkan kedalam substansi RUU tersebut. Namun proses legislasi RUU ini terhenti seiring dengan dicabutnya RUU ini dari Program Legislasi Nasional. Sejak dicabutnya RUU ini dari Prolegnas, belum ada informasi mengenai tindak lanjut program legislasi RUU KKHE, hingga pada Juli 2022 RUU ini masuk kembali ke Prolegnas dengan nama baru, yaitu RUU tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE)

Saat ini RUU tersebut telah melewati tahap harmonisasi melalui rapat-rapat unit fraksi di tingkat Badan Legislasi (Baleg) dan telah menjadi RUU tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistem (KSDAHE) yang digagas Komisi IV DPR RI. Berdasarkan riwayat proses legislasi yang tercantum di situs DPR RI ([email protected]), RUU ini telah melewati tahap dengar pendapat dari beberapa pemangku kepentingan yang memiliki perhatian pada isu konservasi, antara lain pemerintah, LSM dan akademisi, dan saat ini sudah masuk pada tahap harimonisasi. Dengan masuknya RUU KSDAHE kedalam Prolegnas, WGII adakan pertemuan dengan anggota untuk mendapatkan masukan dan pandangan dari masing-masing lembaga, serta menyusun rencana aksi. Diskusi yang diadakan pada akhir Juli 2022 secara hybrid ini menghasilkan beberapa catatan penting.

 

Peserta diksusi menyampaikan pandangan

 

Pengakuan AKKM dan Masyarakat Adat

​​Rancangan RUU KSDAHE terbaru sudah memiliki bagian tersendiri yang mengatur tentang Masyarakat Adat dan juga telah mengakui dan menyebutkan secara implisit AKKM sebagai praktik konservasi berbasis pada kearifan lokal yang dilakukan oleh masyarakat adat atau komunitas lokal. Namun yang dimaksud dengan AKKM dalam RUU ini adalah untuk Praktik Konservasi yang dilaksanakan di luar kawasan konservasi. Sementara itu, berdasarkan analisis fungsi dan status, dari total 464.350 ha AKKM yang teregistrasi di WGII, sebagian besar AKKM berada di kawasan konservasi (KSA/KPA/TB) yang juga perlu direkognisi dan diakui keberadaan dan praktiknya. Hal ini patut dipahami, sebagai upaya untuk mengakui keberadaan masyarakat adat dan praktik konservasi yang mereka lakukan sebagaimana dirumuskan dalam Aichi Target 11, namun dalam konteks yang lebih luas, RUU ini belum mencerminkan kepentingan kerangka keanekaragaman hayati global (global biodiversity framework) terutama untuk target 30x30 yang menekankan Free, Prior, Informed Consent (FPIC)dan pembagian manfaat kepada masyarakat dalam konteks pemanfaatan sumber daya alam dan pengetahuan tradisional terkait, yang akan disusun untuk 10 tahun mendatang. Sehingga, seharusnya RUU ini dapat bersinergis dengan diskursus keanekaragaman hayati yang sedang berlangsung saat ini melalui COP 15 Convention on Biological Diversity (CBD).

 

Pengakuan AKKM yang bersyarat

Pengakuan AKKM yang hanya terbatas pada kawasan penting di luar kawasan konservasi (non-protected area) masih harus diperumit dengan aturan bahwa AKKM hanya dapat diakui melalui keputusan kepala daerah jika masyarakat adat pemangku AKKM telah mendapatkan pengakuan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Norma semacam ini tentu akan memperpanjang proses pengakuan AKKM itu sendiri, karena advokasi kebijakan yang dibentuk dan disahkan oleh parlemen dan eksekutif di level daerah akan membutuhkan sumber daya yang besar termasuk waktu dan biaya untuk memproses sebuah Perda.

WGII juga memberikan perhatian terkait dengan harmonisasi perundang-undangan, mengingat adanya skema-skema pengakuan hak tenurial yang sedang berjalan seperti hutan adat, pengakuan masyarakat adat atau kearifan lokal, atau kebijakan lain seperti perhutanan sosial. Sehingga, keberadaan RUU KSDAHE ini seyogyanya tidak menciptakan tumpang tindih kebijakan yang akan memberikan dampak di level akar rumput.

 

Harapan dan Kerja kolektif WGII untuk RUU KSDAHE

Mengingat mendesaknya advokasi terhadap proses legislasi RUU ini, WGII mendukung proses advokasi kolektif antara anggota WGII, mitra CSO dan masyarakat. RUU ini perlu mendapatkan intervensi yang cepat dan tepat dari pengambil kebijakan agar tidak menjadi permasalahan baru yang dapat mempersulit masyarakat adat dan komunitas lokal dalam memperoleh hak-hak mereka. WGII menilai bahwa RUU KSDHAE harus:

  1. Menempatkan masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai subjek yang setara;
  2. Mengedepankan prinsip konservasi yang inklusif (inclusive conservation) dan pendekatan berbasis HAM (Human rights based approached);
  3. Melindungi praktik empiris pengetahuan tradisional masyarakat adat;
  4. Melindungi dan mengakui hak- hak masyarakat adat;
  5. Melindungi pembela hak asasi manusia dan lingkungan (environmental human rights-defenders);
  6. Memastikan terselenggaranya inklusivitas berbasis Free, Prior, Informed Consent (FPIC), Share-Governance, dan memberikan manfaat bagi masyarakat

 

Admin : CJ