Mengangkat Visibilitas Indigenous and Community Conserved Area (ICCAs) Melalui Pendokumentasian dan Pemetaan

 Admin    Selasa, 14 Juni 2022  
Blog Image

Pada penyelenggaraan The 2nd Asia Park Congress (APC) di Sabah International Convention Center yang berlangsung dari tanggal 24-29 Mei 2022, Kalpavriskh (India) dan Working Group ICCAs Indonesia (WGII) menyelenggarakan satu side-event bertema “Documentation and Mapping of Community Conserved Areas in Asia” pada tanggal 27 Mei 2022. Side-event ini merupakan inisiatif bersama untuk menggagas sebuah kegiatan berbagi pembelajaran antar negara di Asia, khususnya Indonesia dan India dalam mengawal advokasi pengakuan dan perlindungan ICCA di masing-masing negara. Kesempatan baik ini dimaksimalkan untuk berbagi pengalaman dalam melakukan pemetaan dan pendokumentasian ICCA, sebagai salah salah satu isu kunci yang suarakan oleh ICCA Consortium untuk  tema documenting territories of life yang pada pekembangannya telah terkonsolidasi ke dalam web-portal agar lebih mudah menjangkau targeted audience atau para pihak yang mendukung perlindungan hak-hak masyarakat adat dan lokal.

 

The 2nd Asia Park Congress tahun ini mencoba mengakomodasi kehadiran dan representasi masyarakat adat dan lokal untuk terlibat dalam praktek dan model pengelolaan konservasi yang inklusif dan efektif. Hal ini disambut baik oleh organisasi dan individu penggiat konservasi di Asia, mengingat bagaimana selama ini praktik konservasi negara dengan konsepsi Protected Areas sering kali mengekslusi masyarakat adat sebagai pemilik wilayah juga sebagai aktor penting konservasi. Secara nyata,  keterhubungan masyarakat adat dan lokal dengan wilayah hidupnya yang berakar kuat pada sejarah, sosial-budaya, hukum adat, spiritualitas, dan praktik-praktik kearifan telah melahirkan beragam bentuk pengelolaan wilayah dan sumber alam yang memiliki nilai dan semangat konservasi. Oleh karena itu, dalam side-evet yang diselenggarakan Kalpavrisk dan WGII turut mengundang perwakilan masyarakat adat untuk dapat menyuarakan secara langsung peran masyarakat adat dalam pengelolaan ruang wilayah adat yang didalamnya terdapat ICCA, berserta insiatif-insiatif ditingkat akar rumput yang telah mereka lakukan bersama dengan para pendukungnya.

 



 

Rudrath Avinashi, seorang peneliti sekaligus member Kalpavriksh dalam presentasinya memaparkan bahwa pendekatan konservasi konvensional telah membatasi akses dan hak penggunaan oleh masyarakat adat  atas tanah adat mereka.Since 1999 more than 13000 families have been displaced from PAs (Protected Areas)” terangnya. Ketimpangan yang sistematis kemudian terjadi atas hilangnya mata pencaharian jutaan masyarakat, pelarangan akses terhadap pengembalaan musiman dan sumber daya, tidak adanya akses untuk menerapkan pengetahuan tradisional, serta tidak ada kepastian hak untuk melindungi wilayah masyarakat adat dari ancaman eksternal yang ekstraktif. Perburuan liar, pencurian kayu, dan penggunaan sumber alam yang bersifat merusak di banyak kawasan konservasi a.k.a Protected Areas akhirnya menjadi efek yang tak terhindarkan, sehingga memunculkan isu ketidakpercayaan bagi masyarakat adat konsepsi konservasi oleh negara.

 

Keadaan tersebut dipersulit dengan rumitnya pengakuan hak masyarakat adat dan lokal melalui kebijakan. Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Meskipun Undang-Undang dasar telah mengakui keberadaan masyarakat adat, namun hak-hak masyarakat adat tidak diakui secara utuh. Kebijakan atas hak masyarakat adat terfragmentasi secara secara sektoral di bawah kewenangan lembaga yang berbeda-beda dan tidak ada satupun yang secara implisit mengakui praktik konservasi berbasis pengetahuan masyarakat adat. “Hingga hari ini, tidak ada kebijakan yang secara khusus mengakui praktik konservasi masyarakat adat. Peluang terlihat dalam RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem, yang menyebutkan istilah Kawasan Konservasi Masyarakat Adat pada draft RUUnya (2016). Sayangnya, RUU ini telah dicabut dari program legislatif nasional” jelas Cindy Julianty selaku Manager Program WGII.


 

Geoportal Tanahkita.id dan iccas.or.id : alat kerja untuk me-navigasi situasi tenurial ICCA dan upaya  perlindungan hak-hak masyarakat adat dan lokal


 

Working Group ICCAs Indonesia (WGII) sejak terbentuk tahun 2011, telah bekerja dalam pendokumentasian praktik-praktik konservasi masyarakat adat dan komunitas lokal untuk terwujudnya pengakuan dan penjaminan hak masyarakat adat dan lokal oleh pemerintah. Inisiatif pemetaan dan pendokumentasian dilakukan berdasarkan prinsip self-identification dan self- determination. Pendokumentasian ini merekam bagaimana praktik konservasi yang dilakukan masyarakat adat dan lokal melekat kuat bersama identitas sejarah, hukum adat, kelembagaan adat, tatanan sosial, budaya, cara hidup, pengetahuan dan kearifan lokal, spiritualitas, serta hubungan timbal balik dengan alam dan kewilayahan.  Pengetahuan dan praktik yang demikian, juga berkontribusi secara langsung dalam pelestarian lingkungan dan sumberdaya alam.

 

Sejauh ini telah ada 462.650,61 ha dari 104 lokasi ICCAs yang didokumentasikan oleh WGII. Angka yang masih terus akan bertambah mengingat potensi ICCAs di Indonesia mencapai 2,9 juta Ha. Oleh karena itu, WGII membuat satu webGIS-portal database yang dapat mengkonsolidasi informasi ini sehingga dapat menjadi platform bersama yang dapat digunakan untuk mendukung perjuangan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal dan mempromosikan ICCAs kepada publik

 

Geoportal icca.or.id ini menjadi database sosial dan spasial atas sebaran dan kekayaan informasi ICCA di Indonesia baik melalui mekanisme pendaftaran (registrasi), potensi (indikatif), maupun registrasi internasional.  Bersama dengan geoportal tanahkita.or.id gambaran situasi tenurial ICCA disajikan secara jelas, bagaimana tumpang tindih dan konflik agraria menjadi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat atas wilayahnya. Disisi lain, tanahkita.or.id juga menyajikan dan memonitoring sejauh mana progress pengakuan hak atas tanah masyarakat adat dan lokal melalui berbagai skema yang tersedia melalui beberapa kebijakan, diantaranya Hutan Adat, TORA, dan Perhutanan Sosial.

 

Inisiatif serupa juga dibangun oleh Kalpavriksh. Di India, ICCAs belum diakui oleh pemeritah. Hal ini menggerakkan Kalpavriksh, sebagai Koordinator Konsorsium ICCAs Asia Selatan membangun pangkalan data ICCAs yang menyajikan peta dan informasi ekologi dari praktek konservasi dan budaya masyarakat di India. Portal ini mencoba membangun visibilitas ICCAs ke public dan menantang model konservasi konvensional dengan menghadirkan berbagai riset atas dampak perubahan kebijakan dan konservasi yang eksklusif.

 

Di bagian akhir kegiatan, masyarakat adat dari Indonesia diwakili oleh Ketut Santi Adnyana dari Masyarakat Adat Dalem Tamblingan menyampaikan presentasinya mengenai pengalaman masyarakat dalam menginisiasi proses-proses pengakuan masyarakat adat dan hutan adat, dimulai dari pemetaan partisipatif yang melibatkan pemuda dan perempuan, inventarisasi keanekaragaman hayati, pengusulan hutan adat, hingga menggalakan pemberdayaan masyarakat dengan mengembangkan produk lokal dan rumah belajar. Ketut Santi Adnyana menyampaikan “Embracing the Memmories of Alas Mertajati menjadi tema yang saya pilih, karena sistem traditional yang diwariskan oleh leluhur kami memiliki banyak nilai penting untuk kami pegang teguh dan lestarikan”. Lebih lanjut, Ia menegaskan bahwa “Pendokumentasian wilayah adat dan ICCA adalah upaya mendigitalisasi pengetahuan leluhur sehingga menjadi bekal bagi masyarakat dan pemuda Adat Dalem Tambilangan dalam memperjuangkan Alas Mertajati memperoleh pengakuan Hutan Adat”.

 

Sebagai penutup Ketut Santi Adnyana, sebagai masyarakat adat berharap “Semoga ini (pendokumentasian), tidak hanya diakukan oleh Indonesia dan India tetapi juga seluruh dunia dan kita semua bisa terkoneksi. Pemerintah sering lupa akan peran besar masyarakat adat dalam memproteksi wilayahnya sehingga pendokumentasian ini menjadi cara untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat”. Hal ini yang juga menjadi tujuan diselenggarakannya side-event pada The 2nd APC 2022. Inisiatif pendokumentasian dan pemetaan, baik yang dilakukan oleh akar rumput dan organisasi non-pemerintahan seperti WGII dan Kalpavriskh, dapat memunculkan keberadaan masyarakat adat beserta wilayah dan kearifan lokalnya pada level yang lebih terlihat baik oleh pemerintah maupun publik.

 

 

Penulis: AN & CJ