Area Konservasi Kelola Masyarakat

Petak Himba Tanjung Pusaka


 KALIMANTAN TENGAH, KAB. PULANG PISAU,

INFORMASI UMUM

Masy. Adat
/Komunitas Lokal
,  
Masyarakat Dusun Tanjung Pusaka,  
.  
Wilayah Adat
Lokasi Administratif
Provinsi Kalimantan Tengah,
Kab/Kota Kab. Pulang Pisau,
Kecamatan ,
Desa/Kelurahan Danau Bagantung.
Luas AKKM
3,670.810 Ha
Status AKKM:
Registrasi .
Dokumen

Deskripsi

Sejarah dan Inisiatif Areal Konservasi Kelola Masyarakat


Sekitar tahun 1952, terdapat satu pemukiman keluarga, tepatnya di seberang anak sungai Kahayan yang diberi nama Sungai Teluk Putak—keluarga tersebut bernama Bapak H. Runtih Suling dan Ibu Sakar sebagai keturunan Dayak Ngaju dan Banjar yang kemudian menetap/tinggal beberapa tahun di Teluk Putak. Sekitar tahun 1957, keluarga tersebut pindah ke sebuah tanjung atau pesisir sungai yang daerahnya lebih dangkal dari teluk, dan disitulah keluarga ini tinggal, berkebun, mencari ikan kemudian wilayah tersebut diberi nama Dusun Tanjung Taruna. Pada tahun 1960, seiring bertambahnya jumlah penduduk/pemukiman di Dusun Tanjung Taruna serta ramainya lalu lintas air dan darat, orang dari luar daerah dusun mulai berdatangan seperti Suku Banjar dari warga Hambuku, Danau Panggang, Amuntai, Kalua, dari Wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Sejak tahun 1960, Dusun Tanjung Taruna yang desa induknya Desa Tumbang Nusa sudah memiliki seorang kepala desa yang bernama Bapak Inin Timbang (Pindar) sedangkan Dusun Tanjung Taruna saat itu dipimpin oleh seorang ketua RT yang bernama Bapak H. Runtih Suling (Luda). Pada tahun 2007 dilakukan pemekaran Dusun Tanjung Taruna dari desa induk Desa Tumbang Nusa. Penduduk Desa Tanjung Taruna terdiri dari beberapa suku, dengan suku terbesar Suku Banjar dan Suku Ngaju, dengan agama atau keyakinan beragama Islam.

Masyarakat Dusun Tanjung Pusaka memiliki areal yang dikelola dan dilindungi secara turun-temurun yaitu Danau Bagantung dan Petak Himba Tanjung Pusaka. Petak Himba merupakan areal hutan yang terletak di sekitar Danau Bagantung—yang juga dimanfaatkan oleh masyarakat untuk diambil sumber daya alamnya. Lalu, Danau Bagantung sendiri merupakan areal danau yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kehidupan sehari-hari. Diperkirakan pada tahun 1900-an Danau Bagantung ditemukan, Pak Talib (Alm) orang pertama di Tanjung Pusaka yang menemukan Danau Bagantung (Bagantung artinya tidak memiliki dasar atau sesuatu yang bisa berpindah-pindah). Nama Danau Bagantung didasarkan pada cerita bahwa pulau-pulau yang ada di danau berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain atau tidak memiliki dasar (Bagantung), berpindahnya pulau tersebut biasanya ditandai dengan turunnya ‘Hujan Kuning’—yaitu hujan yang terjadi di siang hari atau saat terik matahari. Namun, pada saat musim kemarau, terkadang pulau tersebut juga berpindah. Danau Bagantung ditemukan pak Talib saat menyusuri Sungai Burung Buah Hai (Burung Bua artinya burung pemakan buah dan Hai itu artinya besar).

Saat memasuki aliran Sungai Burung Bua Hai, terdapat lima danau, yang setiap namanya juga memiliki arti tersendiri:
1) Danau Kanderek, pemberian namanya karena di dekat danau terdapat alur parit Kanderek.
2) Danau Panjang, karena bentuk danau yang memanjang.
3) Danau Belida, di danau ini awalnya terdapat banyak ikan Belida walaupun sekarang sudah sulit ditemukan.
4) Danau Bunter (Bunter artinya bulat), dikarenakan bentuk danau membulat sehingga diberi nama Bunter
5) Danau Bagantung (yang paling ujung dan paling besar).
Danau ini terdiri dari lima bagian, disatukan oleh aliran sungai berwarna hitam. Ukuran tiap bagian danau berbeda-beda. Sepanjang mata memandang, danau berair hitam itu sangat luas membentang. Di sekeliling danau tersebut banyak pohon tumbuh menjulang, meski di bagian lainnya lagi tampak kerusakan akibat sisa kebakaran tahun lalu. Menurut masyarakat setempat, Danau Bagantung memiliki ketersediaan ikan yang tidak pernah habis, khususnya pada saat musim kemarau, banyak ikan yang berkumpul di danau hingga musim hujan sehingga saat musim kemarau sekitar bulan juni hingga agustus, penjagaan diperketat.

Areal ini dilindungi dan dikelola secara khusus karena adanya ancaman terhadap penggunaan setrum listrik dan racun ikan, serta masifnya ekspansi perusahaan sawit di sekitar areal Danau Bagantung. Danau Bagantung telah dilindungi eksistensinya hingga saat ini dibantu oleh pihak eksternal seperti LLG CIMTROP dalam hal penelitian; JKPP dan POKKER SHK sebagai asistensi pemdes, memfasilitasi pemetaan partisipatif, pembuatan perdes, dan mendorong skema pengakuan AKKM; KPH dalam hal rencana pembibitan dan asistensi; DLH dalam hal mendorong monitoring danau dan mengupayakan perlindungan hukum.

Praktik Pengelolaan


Sekitar tahun 1970 an Danau Bagantung dibuka untuk umum bagi warga Tanjung Pusaka. Pengelolaan Danau Bagantung memuat peraturan atau kesepakatan bersama yang dibuat dan telah dipatuhi oleh Masyarakat Dusun Tanjung Pusaka, berikut ini merupakan kesepakatan pengelolaan:
1) Dilarang menggunakan alat setrum dan racun saat melakukan penangkapan ikan, jika kedapatan menggunakan alat setrum dan racun akan didenda hingga Rp.1.000.000;-
2) Jika pihak lain dari luar desa memasuki danau, harus mendapatkan izin, melaporkan alat tangkap, dan ditemani oleh Masyarakat Dusun Tanjung Pusaka;
3) Saat musim kemarau panjang, diberlakukan jaga malam di muara danau/ pintu masuk danau dari jam 6 malam hingga jam 6 pagi;
4) Setiap kontribusi serta biaya masuk Rp. 50.000;- (orang luar) ke danau dijadikan pemasukan kas Tanjung Pusaka, yang digunakan saat ada kegiatan pembersihan danau dan mebiayai kegiatan patroli rutin.
5) Penggunaan jaring untuk menangkap harus yang berukuran cukup besar.
Masyarakat Dusun Tanjung Pusaka telah yakin dan berkomitmen bahwasannya tak ada satupun warga yang menyetrum dan meracun di area Danau Bagantung karena mereka telah memiliki kesadaran yang tinggi dalam menjaga areal danau. Sejalan dengan kesadaran lingkungan yang meningkat, ekowisata Danau Begantung pun mulai dirintis. Tiap wisatawan yang berkunjung akan dijemput menggunakan cess (perahu kecil) dan ditemani oleh Masyarakat Dusun Tanjung Pusaka.

Kontribusi terhadap Konservasi Keanekaragaman Hayati


Pengelolaan dan perlindungan yang dilakukan oleh Masyarakat Dusun Tanjung Pusaka terhadap Danau Bagantung telah berkontribusi terhadap pelestarian ekosistem danau dan keanekaragaman hayati. Di Danau Bagantung terdapat habitat berbagai jenis ikan rawa lokal gambut, seperti: Haruan (Gabus), Toman, Karandang, Baung, Patung, Tabiring, Tapah, Papuyu (Betok), Belut, Lais. Danau Bagantung juga berkontribusi terhadap sumber mata pencaharian Masyarakat Dusun Tanjung Pusaka dan sekitarnya, hampir sebagian besar warga berprofesi sebagai nelayan sungai, mereka mencari berbagai jenis ikan air tawar mulai dari Toman, Tahuman, Kerana, Betok, Baung, Tapah, Lele, Karandang, Puyuk, Udang, Biawan, Kakap, Balida, dan lainnya.

Selain dari hasil tangkapan ikan di Danau Bagantung, warga juga mendapat pendapatan dari hasil mengantarkan orang dari luar Tanjung Pusaka yang memancing di danau, diperoleh dari sewa cess/ klotok. Selain itu, upaya perlindungan ini telah memikat banyak pengunjung untuk sekedar menangkap ikan atau menikmati keindahan panorama danau. Sejak tahun 2005, pengunjung Danau Bagantung mulai meningkat pesat, setelah televisi swasta menayangkan program Mancing Mania di Danau Bagantung. Dengan begitu, kehadiran Danau Bagantung bisa terus berkontribusi pada ekonomi Masyarakat Dusun Tanjung Pusaka dari segi ketersediaan ikan yang melimpah dan dari segi pemasukan kas karena pengelolaan yang baik.

Peraturan menangkap ikan di Danau Bagantung sangat diatur untuk menggunakan alat tangkap ikan tradisional saja seperti: Rengge, Pancing (Banjur dan Rawai), Bubu (Buwu) dan Jala (Lunta), Rempa, Kalang, Tampirai, Sauk, Siap, dan Hantai. Peraturan menggunakan alat tangkap tradisional memberikan dampak bagi ekosistem karena dianggap lebih ramah lingkungan dan mengurangi risiko kerusakan habitat danau. Selain itu, penggunaan jaring untuk menangkap ikan juga dianjurkan memakai jaring yang berukuran besar, dengan tujuan agar pengambilan ikan tidak overfishing—populasi ikan tetap terjaga dan memberikan kesempatan bagi ikan-ikan kecil untuk tumbuh.

Pengakuan dan Perlindungan Pemangku Hak/ AKKM


Danau Bagantung telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Lahan Basah melalui Surat Keputusan Bupati Pulang Pisau Nomor: 445 Tahun 2019 tertanggal 23 September 2019. Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) mengatakan, sejak awal tahun 2019 Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau melalui Satuan Organisasi Perangkat Daerah (SOPD) teknis, dimotori oleh DLH Pulpis bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Tengah, telah menginisiasikan dan mengusulkan untuk pembentukan KEE yakni Danau Bagantung. Lahan basah Danau Bagantung jika dikembangkan dengan strategi yang tepat akan memberikan dampak positif terhadap masyarakat dari segi ekonomi dan tentunya juga untuk kelestarian lingkungan hidup.
Pengampu: Masyarakat Dusun Tanjung Pusaka,    Tanggal Input:  21-08-2021,    Status AKKM: Registrasi .