Arti Tanah Bagi Masyarakat Malind

 Admin    Selasa, 12 April 2022  
Blog Image

Mereka misalnya dapat mengetahui tanah yang subur dan yang tidak subur hanya dengan mengamati jenis-jenis tumbuhan, bentuk batang, atau warna daun tumbuhan yang tumbuh di suatu tempat. Mereka juga paham, hari atau masa yang baik untuk memulai berkebun. Untuk memulai masa tanam, mereka berpatokan pada musim angin atau musim berbuah dari tanaman tertentu. Pada waktu-waktu tertentu, mereka tahu kapan harus melakukan pembakaran hutan hanya dengan melihat arah angin untuk melindungi dusun-dusun.

 

Rasa memiliki tanah ulayat dan hutan semacam itu bisa dimengerti, karena kehidupan      masyarakat Malind memang tak bisa dipisahkan dengan hutan. Hampir semua denyut kehidupan mereka berasal dan bergantung dari hutan termasuk dalam hal pengobatan. Benar, sebagian warga saat ini sudah bisa mengakses pengobatan modern dari petugas medis yang ada di kampung, tapi masyarakat Malind yang berburu di hutan tetap menggunakan dasar-dasar pengobatan dari alam. Bahan dasarnya berasal dari hutan (etnobotani) yang berlimpah dan mudah didapat. Misalnya, saat mereka memangkur sagu kemudian ada yang menderita sakit, maka mereka melakukan pengobatan secara tradisional.

 

Ada beberapa suku di masyarakat Malind, dan suku terbesar adalah Mayo dengan kepercayaan pada Totemisme. Suku ini terdiri dari berbagai macam sub-suku yang disebut Malind Anim. Artinya orang Mayo. Salah satunya adalah marga Marga Gebze. Marga ini berhubungan dengan tanah, batu dan semua hewan yang hidup bersimbiosis dengan kelapa. Marga-marga lainnya juga begitu.

 

Beberapa alasan untuk dilakukan pemetaan adalah, suku-suku yang ada telah lama mendiami wilayah Malind secara turun temurun dan sudah sangat mengenal alam sekitarnya. Selain itu, agar pendatang dari luar juga belajar tentang alam karena ikut bertanggung jawab atas pembangunan yang berjalan. Hasil pemetaan tempat-tempat penting suku Malind Anim di Merauke dapat dilihat pada peta.

 

Dulu, warga akan malu apabila melakukan pelanggaran adat. Perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai pelanggaran hukum adat yang berkaitan dengan perlindungan alam, antara lain adalah kebakaran hutan sewaktu mereka membersihkan dusun, membakar hutan dengan sengaja, meracuni ikan dengan akar tuba disungai tanpa sepengetahuan pemilik dusun, merusak dusun orang lain, berburu binatang secara berlebihan untuk dijual, dan lain-lain.

 

Masyarakat Malind percaya, jika seluruh alam rusak maka semua mahluk hidup akan mati dan musnah. Dimulai dari hewan-hewan kecil hingga yang besar, lalu manusia pun akan mati dan punah. Pelestarian lingkungan semacam ini bukan hal baru bagi masyarakat adat, karena sudah terdapat dalam ajaran “empat mata angin.”

 

Bila seorang anak mereka dilahirkan di dusun-dusun ulayat mereka, si anak akan memiliki hubungan yang kuat dengan dusun tempat mereka dilahirkan, karena kelahiran mereka disaksikan oleh para arwah moyang. Dengan menjaga dusun-dusun ulayat, masyarakat Malind juga percaya bahwa arwah moyang akan menjaga mereka dari bahaya atau penyakit.

 

Aturan-aturan itu antara lain, dilarang menangkap burung cenderawasih maupun burung lainnya apabila bukan untuk keperluan adat. Dilarang membakar hutan secara sembarangan. Dilarang menebang pohon atau berburu satwa buruan secara berlebihan terutama yang ada kaitannya dengan lambang marga tertentu atau totem. Apabila tetap menebang, maka ada kewajiban untuk menanam kembali lebih dari yang ditebang.

 

Berdasarkan pemetaan partisipatif yang dilakukan di Kampung Kaliki, tercatat batas-batas wilayah Kampung Kaliki. Sebelah Barat berbatasan dengan Kampung Domande dan Kampung Sinegi. Sebelah Utara berbatasan dengan Kampung Wayau dan Kampung Bad. Sebelah Timur berbatasan dengan Kampung Wapeko, Kampung Salor dan Kampung Kumbe. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung Kaiburse dan Kampung Onggari.

 

Potensi sumber daya alam di Kaliki dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ada dusun sagu, tempat satwa untuk berburu, kali maupun rawa untuk mencari ikan. Untuk menjaga kelestarian tempat-tempat tersebut, masyarakat kampung Kaliki memiliki kebiasaan berburu atau meramu. Kegiatan ini dilakukan tidak setiap saat, melainkan hanya pada waktu-waktu tertentu.

 

Ada beberapa sanksi kepada mereka yang melanggar aturan pemanfaatan hasil sumber daya alam yang dianggap memiliki nilai keramat. Jika mencuri tanaman sagu di dusun milik marga lain, maka harus memberikan ganti rugi dengan menanam sagu baru sebanyak sagu yang ditebang, atau mengganti dengan hasil tokokan sagu yang jumlahnya sama. Selain itu, ada pula ganti rugi berupa uang yang jumlahnya ditentukan oleh adat. Jika seseorang mengambil tanah hak ulayat marga lain, maka dituntut untuk memelihara babi dari kecil hingga babi itu dewasa. Setelah itu, orang yang menuntut yang diberi hak membunuh babi tersebut, lalu memakannya bersama-sama dalam suatu upacara adat.

 

Inisiatif masyarakat untuk mengelola hutan secara berkelanjutan dan legal diawali dengan pertemuan WWF Indonesia dengan Agustinus Kanki Balagaize, tokoh masyarakat, pada tahun 2005. Dari pertemuan ini, masyarakat menginginkan untuk mengelola hutan dengan pendampingan WWF sehingga memperoleh manfaat ekonomi yang lebih tinggi dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan dan perlindungan baik secara adat dan tradisional maupun secara hukum positif.

 

Secara turun-temurun marga Balagaize, menjaga keseimbangan hutan ulayatnya yang sekarang dijadikan model pengelolan hutan lestari oleh masyarakat. Dari sana kemudian terbentuk satu kelompok kerja pengelola hasil hutan dengan nama Mo Make Unaf, yang berarti mari kita jalan atau mari kita maju. Kepemilikan ulayat Marga Balagaize Kaliki diawali dengan kedatangan moyang pertama mereka yaitu Widui. Kali pertama datang ke wilayah ini, Widui menempati Dusun Samta. Di dusun inilah ada peninggalan mereka berupa Kuburan yang sampai saat ini masih dipercaya sebagai tempat hidup Widui. Mereka juga percaya, dapat memanggil arwah Widui untuk berkomunikasi.

 

Semua itu dijaga dan dilestarikan oleh orang-orang di Kampung Kaliki. Penghormatan atau penghargaan marga adalah dengan tidak mengganggu atau merusak hutan disekitar kuburan tersebut.

 

Selain community logging, anggota Mo Make Unaf juga sepakat menjaga dan mengamankan arealnya, terutama tempat-tempat penting yang mereka namakan sebagai ICCAs. Nama lokasi ICCA adalah Sumok yang merupakan singkatan dari Samta, Upip, Mahek, Oyam dan Kwafran, yang adalah nama[1]nama tempat sakral dan perjalanan leluhur masyarakat pemilik ulayat. Dengan melindungi tempat-tempat ini, masyarakat ingin menjamin sumber makanan dan obat-obatan, juga untuk menghormati leluhur mereka. Selain itu, kawasan ini merupakan tempat hidup berbagai macam flora fauna yang dilindungi dan dibutuhkan masyarakat.

 

Sumber: Jalan Panjang Masyarakat untuk Konservasi dan Ruang Hidup:15 Cerita Konservasi Masyarakat Adat di Indonesia (ICCAs)